Kamis, 02 Februari 2012

CERPEN JELLY SWARG


JELLY  SWARG
                                                                                        
            Waktu seakan menggantung detik lebih lama ketika aku mengenang kehidupanku bersama ibu dan ayah di kampung ini. Lagi - lagi, aku disadarkan oleh suara tetes yang rutin aku dengar setiap hari di ujung senja. Jauh di belakang pekarangan rumah, entah itu apa. Aneh saja, di antara penghuni rumah hanya aku yang mendeteksinya. Tak biasanya, kini aku menuruti ajakan hati untuk menelusuri sumber bunyi itu. Samar – samar dari kejauhan, nampak suatu benda bergerak meliuk pelan di belakang rerumputan. Aku coba melangkah lebih dekat menyentuh  kotakan putih transparan dengan kotak transparan hitam kecil di dalamnya itu. Terasa dingin, berlendir, lengket, seperti jelly. ”Ah, benda apa ini? Adakah benda yang sangat menjijikan seperti ini terlahir? Tak ada gunanya pasti.” umpatku. Buru – buru aku lenyapkan noda di tangan, mengusapkannya ke baju. Tanpa komando, kaki mulai berlari ke mobil dinas ayah, menjauhi benda konyol tadi. Inilah saat yang tak pernah aku ridhoi, aku musti beranjak meninggalkan ibu selama tiga tahun lamanya untuk berguru di kota dekat daerah ayah bertugas. Dibanding kampung ini, sekolahku memang lebih dekat dengan daerah kerja ayah. Huh, takdir memang tak selalu berjalan di jalur keinginanku. ”Meski mustahil Kifl ingin menyuguhkan maaf berselip rasa terimakasih yang sangat atas kasihmu. Insyaallah Kifl alunkan doa teruntuk bunda selalu.” ucapku sambil mendaratkan sentuhan lembut di perut ibu. Kelopakku berlinangan. ”Doa ibu untuk kamu jua, nak. Semoga putri hamba ini selalu menghamba padaMu di perantauannya, Ya Allah.” sanjung sang perempuan perkasa di hadapanku ini. Tetes air mata menghanyut hingga ke muara, mengikat kasih kami yang tak terhambati jarak serta waktu. Tapi janji ayah selalu terngiang dalam memoriku. Kelak usai aku lulus SMP, kami bisa berumah di kampung ini lagi bersama ibu yang sekarang tengah mengandung seorang bayi lelaki berumur delapan bulan.
            Sampailah kami di rumah dinas ayah, sarang baru bagi aku dan ayah. Usangnya rumah ini nampak lekat ketika kami menginjakkan kaki di depan gerbang. Dinding rumah mengelupas berselimut lumut. Tanaman rambat pun memenuhi ruang di atap. Saat lelahku belum mengering, aku berbenah di kamar tinggal baruku. Rumah ini tepat berada di perbatasan dua daerah terpencil yang berbeda, yang tak mengenal Einstein, Obama, bahkan Justin Bieber. ”Yah, untuk apa kita berumah di pedalaman macam ini? Mengapa tidak kita tinggal di kota dekat sini yang lebih maju? ” tanyaku memprotes. ”Ini daerah yang ayah pimpin, nak. Kita habiskan sepenggal waktu kita di sini dulu, Kifl. Banyak tugas mengantri tuk ditunaikan.” ujar sang politisi itu sok berwibawa. Terpaksa kucoba menikmati hidup payah di rumah ini. Ayah dan aku terlampau sibuk pada hari hari padat, sampai sampai hanya liburlah momen tepat untuk beberes rumah beserta seperangkat benda yang ada di dalamnya. Tumpukan busana kotorku telah seminggu menunggu sang majikan memandikannya. Ih, nampak sebuah gumpalan di sehelai baju muslimahku saat aku mengguyurinya air. Kotakan yang kenyal, hitam transparan, berlendir, lengket, dan tak larut oleh air, juga bergerak gerak. Agak mirip seperti... jelly yang kutemukan dulu. Buru – buru aku buang benda itu ke sumur kering dangkal di samping rumah yang dikelilingi taman bunga nan subur milik kampung sebelah. Tak aku ketahui misteri yang terselubung di balik jelly itu. Firasat buruk dan takdir suram terbayang mengambang di benak setiap kali ku melihatnya. ”Kenapa jelly jelek itu selalu menjumpai aku? Mengapa aku sangat fobia dengannya? Mungkinkah aku terlalu berlebih mengenai si jelly? Sudah barang tentu, beribu tanya di benak takkan terjawab jika tak terucap. ” bisik logikaku. Tetapi mauku bertanya pada ayah tertunda saat ibu menelpon. Ibu mengirim kabar, ternyata ibu telah mengandung anak kembar. Terjadi kesalahan analisa alat ultrasonografi. Janin baru terlihat saat bayi berumur delapan bulan. Hah, entahlah. Dongengku memburu ketika ayah mulai menutup gagang telpon, aku jabarkan kisah dan tanyaku tentang jelly itu pada ayah. ”Hihihi, jelly pemusnah bumi? Itu hanya tokoh imajinasimu saja, nak.” ayah berseru sambil menahan gelagak tawanya. Puluhan pendapat bernada sama dari orang - orang pun terucap saat aku kisahkan hal yang sama.
Ketika kehidupanku bersama ayah di rumah dinas ini baru seumur jagung, kami berpindah ke perumahan di kota tempat sekolahku berada. Itu janji ayah untuk memperlancar sekolahku. Suatu malam naas, saat aku tak bisa membuka gerbang mimpiku, ayah berburu meraih tanganku menuju mobil. Sampai di suatu lokasi, terjadilah hujan tombak yang pasti bisa menembus besi badan mobil ayah kapan pun ia mau. Teriak serta tangis manusia menderu, menaklukkan suara derasnya hujan berpetir kala itu. Layaknya aku sedang berada dalam mimpi buruk, kembali pada jaman penjajahan dahulu kala. ”Ada apa yah? Kifl takut.” jeritku merinding. ”Bersembunyilah di belakang kursi mobil, nak. Ayah segera kembali.” pesan ayah terburu. Batinku berkata, mungkin ini daerah bersumur dangkal, tempat ku buang jelly busuk itu. Aku menunduk, sedikit mengintip. Terlihat rumput lapangan merah berdarah.  Aku tembakkan pandangan tepat mengenai suatu gumpalan benda yang familiar. Segumpal jelly hitam tak berbentuk mengiringi tragedi perang ini. ”Gumpalan itu mungkin telah menyudahi puluhan nyawa tak berdosa, dan pasti dengan mudah dia bisa membinasakan aku. ” pikirku menerka. Keparat, aku benar – benar muak dibuatnya. Beralih aku mendekati jelly itu. Namun sisi miring pisau yang tak berpemilik terburu menyerempet kaki malangku. Benda itu mendarat tajam di tanah. Ah, getah merahku mengucur deras, memaksa aku bersimpuh di tanah. Pisau itu sudah mencuri sadarku, entah tuk berapa lama. Alhasil, tampak balutan perban di kakiku saat mataku kembali bekerja. Tragedi perang antar suku tadi mereda, setelah polisi, ayah, dan rekannya menenangkan warga. Kasus ini tengah diusut polisi. Hipotesis polisi berkata, perang itu dilatar - belakangi isu pembunuhan seorang bupati oleh seorang warga daerah yang ayah pimpin. Pasti, imbas dari segalanya adalah ayahku akan diberhentikan sebagai pemimpin di daerahnya. Kini, ayah terpaksa berprofesi sebagai pengusaha kecil di toko yang tak bisa menjamin kehidupan layak bagi kami. Dengan modal yang kerdil tentu. Usai tragedi itu, siang sepulang sekolah, aku mengaluri jalan menuju sumur dangkal, mengecek keadaan jelly brengsek itu. Sampailah di sana, dari jauh tampak sumur itu penuh air, bajuku masih di dasar. Yang aneh, keindahan taman bunga itu lenyap tak bersisa, kini sangat gersang. Entahlah, takut mencoba menghanyutkan aku, namun secepat kilat, aku hapus memoriku tentangnya.
Waktu mengecoh hidupku. Lambat laun, usaha ayah sering berjatuh bangun ria. Sempat tempat niaga ayah gulung tikar. Saat itu, kami tak ubahnya seperti gelandangan berumah gubuk. ” Mimpi buruk! Kenapa kita hanya bisa berkecukupan  pangan? Bagaimana nasib masa depanku?” Emosiku marah pada diri sendiri. Laba toko kelontong ibu di kampung pun belum menghapus status miskin kami. Gelisah jika tak aku perbuat apa pun. Meski pada saat yang sama pula, seharusnya aku bersiap perang dalam UN. Usaha mencari uang telah merajai otakku, penuh sesak, tak ada lagi ruang tuk berfokus mengkoleksi ilmu. Mengamen, menyemir, memulung pun aku lakoni jua. Putus asa. Tertinggal jauh, aku dengan kawanku di garis start. Tak terbesit pikiran tuk berguru kembali. Karena walau aku mulai kini, waktuku pasti terburu usai. ”Maaf Yah, Kifl selalu membebani keluarga. Hanya ini yang bisa Kifl beri.” aku persembahkan sedikit uang pada ayah. ”Apa – apaan ini! Ini bukan tugasmu, nak. Tunaikan kewajibanmu, belajar dan berdoalah pada – Nya! Ayah pasti masih bisa membenahi hidup kita tanpa merepotkan Kifl.” amanah ayah sedikit menggertak. Tak tersadar jatuhlah butiran air mata milik kami berdua. Sedari itu aku turuti nasehat ayah, meski harapku memetik nilai cemerlang dalam UN telah pupus. Mukjizat ajaib menyapa aku melalui selembar halaman buku yang aku baca. Lukisan tinta indah itu menuliskan bermacam lomba. Bermodal inisiatif dan ikhtiar, aku coba berpartisipasi dalam lomba yang bertaut dengan materi pelajaran sekolah. Beberapa olimpiade tingkat rendahan aku geluti. Tinggal menantikan diumumkannya sang juara. Motivasiku menjalani lomba yang up to date masa itu hangus seketika usai fakta bicara. Awalnya gagal, kali kedua gagal, kesempatan ketiga gagal, serba gagal! Tak terbayang hasil perlombaanku yang lain, pasti nihil. Hal itu amat menggoreskan trauma bagiku. Hadiah yang aku harap, tak mungkin terdapatkan oleh aku. Aku tersudut dalam dilema kegagalan. Tangis sedu sedan mengalun tanpa komando hampir setiap hari. ”Tak ada yang mengerti aku, bahkan Tuhan! Apa bukti dari kasih sayang - Nya pada ku? Menghukumku tanpa sebab. Adakah Dia tak melihat usahaku? Dimana wujud - Nya sebagai sosok yang maha mengetahui?” protes amarahku bagai tersambar listrik 5000 watt. Waktu mengalir mengikuti takdir - Nya. Saat aku tak mengharapkannya, kemenangan justru tiba. Tawakal berselimut ikhtiar di beberapa lomba terakhirku dulu, sudah membuah. ”Perilaku ngawurku dahulu, pasti meluapkan dosaku dari ambang maksimalnya.” terbesitlah pikirku. Wujud tobat, aku mendekat dan melekatkan hati pada Tuhanku, hingga tujuanku bukan lagi uang, harta, atau dunia, tetapi kini adalah ridho - Nya. Saat aku gagal, itulah waktunya, tugasku meyakinkan Dia bahwa aku mampu menjaga amanah - Nya. Aku bangkit berpacu dalam lomba lagi, hingga aku sering bertitel pemenang dan bisa mendulang nafkah, sekaligus menunaikan kewajibanku menuntut ilmu. Hasil final nilai atas perjuanganku dalam UN melekat di papan koridor sekolah. Ruangan penuh sesak, tak ada sudut kosong. Menerobos gerombolan pemburu ilmu, aku pungut kado terindah dari - Nya. Nilaiku sangat cukup tuk bekal menuju strata pendidikan yang lebih tinggi. Perlahan, honor kemenanganku semakin bisa menajamkan kenaikan ekonomi keluarga kami. Setelah usai tiga tahun aku menciduk ilmu di kota, aku dan ayah pulang ke kampung lama kami di mana tinggallah ibu dan adik - adik di sana. Persis saat kami pulang, di kota, merebaklah kabar kematian massal warga daerah terjadinya perang dulu.
Di ujung fajar, saat mentari singgah di angkasa berhimpit awan - awan.  Sampailah aku dan ayah di rumah lama kami. Rumah tua ini menampakkan nuansa barunya. Yang terindah di sini, kupingku tak mendeteksi bunyi tetesan aneh layaknya dulu. Ibu, Qabil, dan Habil terduduk menantikan kami. ”Adakah kabar baik dari rakyatku di sini?”  gurauku mendahului mereka. ”Tentulah saja, teramat sangat baik sekali. Mungkin Kak badut ingin istirahat dulu.” timpal si bocah periang, entah siapa nama adikku itu. Bagai orang asing, aku berkenalan dengan adik sedarahku. Sikap mereka tak sekembar wajah mereka, pasti itulah pikiranmu yang melintang saat bertemu adik kembarku, Qabil, dan Habil. Qabil lebih misterius, selalu muram, jauh berbeda dari Habil. Entah masalah apa yang sukses mencuri senyum Qabil. Meski tanpa senyum, air wajahnya selalu memancar imut. Siang hari, usai aku berbenah kamar baruku di sini, aku coba sharing dengan Qabil. Tak tahu mengapa, saat perbincanganku membelok ke jelly misteri itu, dia terburu diam seribu bahasa, kalimatnya kering, ia berusaha menjauhi aku. ”Qabil kenapa? Sakit? Takut? Apa kak Kifl salah ucap?” tanyaku tak terjawabkan.
Saat malam pertama hidupku di rumah lama ini, seluruh penghuni rumah, terkecuali aku dan Qabil beranjak ke pesta pernikahan seorang pejabat tinggi negara. Inginku berfoto dengan teman ayah di pernikahannya itu sirna ketika ayah menugasi aku menjaga Qabil di rumah. Sebab itulah, aku harus tidur di kamar Qabil. Masih terbesit sesal saat aku letakkan kamera yang tadinya kusiapkan untuk pesta itu, di meja kamar Qabil. ”Selamat malam, petiklah bunga tidur terbaikmu ya, sayang.” kataku yang diterbangkan angin malam, tak tergubris Qabil. Tidurku terhenti ketika usai tengah malam kerongkonganku kering. Aku jelajahi dapur, meneguk minum. Ku tengok kamarku yang kemarin siang aku benahi. Pemandangan itu jauh berbeda dari awalnya, kini tak tertata. Buru - buru kulewati ruang keluarga tuk kembali tidur. Sekilas aku tersadar tak ada satu pun foto Qabil bergantung di dinding.
Ayah, ibu, dan Habil belum pulang ke rumah tua ini. Bergegas aku mencoba memasuki alam tidurku. Namun pemandangan sungai menjelang fajar di balik jendela menarik inginku untuk memfotonya. Selintas pikirku untuk memfoto Qabil pun terlaksanalah sudah. Suatu fakta benar - benar memutus urat syarafku, ku rasa diriku tiada. Kala itu, seakan waktu terdiam. Mungkin sudah lelah berjalan. Saat sadarku kembali, keringatku mengucur, mungkin telah merembes hingga dasar kasur. Yang terpikir, mungkin inilah akhir waktuku. Pasti Qabil si malaikat imut itu akan menjadi malaikat pencabut nyawaku. Takutku muncul bebarengan dengan jelly busuk itu. Sinar kamera tadi menerangi segumpalan jelly putih transparan tak berbentuk di beberapa bagian tubuh Qabil. ”Teror jelly banyak sudah ku jumpai, tapi mengapa jelly – jelly itu berbeda warna dan bentuknya?” bisik hatiku. Entahlah. Kini aku tersudut di pojok kamar, menangis, menyesali ulahku. Qabil sudah hidup dari tidurnya. Takdirku sudah di ujung tanduk. Dia siap memangsaku setelah berbagai terornya terlaksana. Aku jabarkan singkat maafku, tanyaku, sesalku, bahkan kesialanku atas jelly bengis itu dengan bergemetar. Qabil menghiraukan aku. Dia menancapkan tatapannya ke wajah takutku, lantas mendekat hingga sampai di depan, dan memegang pundakku. Pikirku, pasti dia akan membunuh aku dengan jellynya. Namun malang, dia hanya memelukku.
Berbagai misteri yang aku pikirkan sedari dulu, dijelaskan Qabil. Ia dongengkan segalanya di balik jelly hidup itu. Otakku berotasi kala mendengar fakta aneh yang terucap oleh bibir mungil Qabil. Pantaslah ultasonografi dokter mendeteksi bayi kembar saat kandungan ibu berumur delapan bulan. Rupanya Qabil bukan adikku, ia adalah fotojeliant yang tinggal dan bersembunyi di tubuh ibu, ketika mencari hydrojeliant yang tak sengaja terambil olehku saat peristirahatan Qabil di bumi. Bhator, sang pemimpin penduduk Swarg, memerintahnya mencari hydrojeliant dan membunuhku. Sebelum mendapat hydrojeliant itu, Qabil tak diizinkan  kembali ke Swarg. Swarg adalah rumah bagi fotojeliant dan hydrojeliant. Di balik sosok misterius, Qabil ternyata berhati mutiara. Niatnya tak tertuju tuk membunuhku. Ia berusaha mendapatkan hydrojeliant tanpa menyakiti aku. ”Qabil minta maaf, karna sudah mengacak – acak kamar kak Kifl. Qabil hanya ingin mencari hydrojeliant.” katanya lirih. Sorot matanya, sarat akan rasa bersalah yang teramat tulus, siapa pun pasti takluk dengan sekali pandangnya. Fakta bahwa dia bukan adik sedarahku, bahkan bukan makhluk sejenisku, tak meragukan hatinya tuk memanggil aku kakak. ”Rupanya itu ulah si Qabil imut? Tak apa. Di sini kak Kifl yang bersalah, kakak telah merusak kehidupan dek Qabil sebagai fotojeliant. ” sesalku. Damai menyatukan tangan kami untuk berangkulan.
Perhatikanlah fakta yang membongkar misteri jelly ini! Ternyata fotojeliant adalah jelly kotak transparan putih yang bisa menghasilkan ”ore”, yaitu gumpalan jelly putih transparan tak berbentuk dalam waktu singkat melalui media cahaya berfrekuensi tertentu. Itulah sebabnya mengapa tak ada foto Qabil di dinding rumah. Karena, pasti Qabil akan memproduksi ore jika terkena cahaya kamera. Sedang, hydrojeliant yang diburu Qabil adalah jelly kotak transparan hitam kecil yang dapat membuat ”jame” atau gumpalan jelly transparan hitam yang tak berbentuk, melalui media air dalam waktu beberapa bulan. Racikan antara ore bersama  jame bisa menghancurkan seluruh penyakit. Ore tak bereaksi jika bekerja sendiri. Namun jame bisa merusak sistem sel, jaringan, bahkan organ semua makhluk hidup dalam beberapa detik saja bila beraksi tanpa ore. Ore yang diproduksi  fotojeliant melalui media cahaya, dan  jame yang dilahirkan hydrojeliant melalui media air akan mengeras menyerupai sepayung benda kenyal kecil. Pikirku seakan berkeliling gurun sahara, memindai setiap kata dari cerita Qabil, lalu menganalisis, dan mencari solusi. Tentu, ternyata kegersangan taman bunga di sekitar sumur, adalah ulah jame. Kematian sang bupati berikut kematian massal warganya yang tak bersebab itu bukan karena dibunuh seorang warga daerah tempat ayah memimpin dulu. Itu pun aksi jame. Hujan sebelum malam perang dulu, telah memancing hydrojeliant tuk memperanakkan  jame di sumur samping rumah dinas ayah. Seiring waktu berlari, alhasil  jame bereaksi membunuh warga di sekitar daerah situ. ”Kak Kifl sembunyikan hydrojeliant di mana? Qabil tak sabar pulang ke Swarg.” seru Qabil sarat semangat. ”Mungkin benda itu masih di dasar sumur bekas rumah dinas ayah, dek Qabil sabar dulu, kak Kifl  ambil benda itu, pamitkan kakak jika ibu sudah pulang ya, dek.” ujarku. ”Qabil pengen ikut, kak.” balasnya.  Pasti, maunya tak bisa dilarang.
Segera, aku menghantarkan kaki menuju lokasi sumur itu. Qabil pun mengekor. Hujan terburu turun saat hari menjelang fajar, sedang mentari masih tidur. Sepulang dari berpindah rumah tanpa dapat tidur semalaman, agenda ujian ketabahanku pun lengkap sudah saat kami kehilangan arah. Maklumlah, kali terakhir kujamah rumah dinas itu hanya dengan duduk manis menumpang mobil yang ayah kendarai tanpa melihat kanan kiri. Yang masih melekat di ingatku, hanyalah jalan yang dilalui mobil ayah teramat terjal layaknya situasi ala pedalaman karena goncangan badan mobil ayah selalu berusaha menutup gerbang mimpi saat aku terlelap dulu. ”Q... Qabil kedinginan k... kak, pusing. K... Kak Kifl duluan saja, nanti Qabil menyusul.” bisiknya terpatah patah. Matanya kuyu. Bibirnya sedikit biru. Tangan Qabil dingin melebihi dinginnya suhu kala itu. Lelehan air matanya meluluhkan hati. Dia berhasil mengiris hatiku dengan pandangnya. ”Qabil sayang, tinggal selangkah dari Swarg. Pasti kamu bisa, Qabil kak Kifl gendong saja yuk.” keluarlah sepenggal kata diiringi air mataku, khusus untuk Qabil. Ketika itu, langkahku semakin berat karna dalamnya lumpur dan besarnya beban Qabil. Ya Allah, kantuk berusaha menggelayuti mataku. Lapar juga berhasil melilit perut ini.
Para penghuni jalan kami mintai petunjuk, hingga akhirnya kami menapakkan kaki di tujuan. Tak buang waktu, buru - buru aku jangkau hydrojeliant di dasar sumur yang tak terlampau dalam, menempel di balik baju muslimah yang kupegang kini. Sedikit bergerak. Namun tak banyak. Ku masukkan hydrojeliant ke saku baju, tepat di kiri perutku. Kurasa ini puncak kebuntuan pikiranku. ”Hydrojeliant sudah di tangan, tapi bagaimana ribuan jame pemusnah bumi bisa diberantas hanya oleh kami berdua? Mustahil”, suara hatiku berprotes. ”Tak adakah keahlian ajaib yang fotojeliant punyai layaknya di negeri dongeng?” gelengan Qabil menjawab tanyaku. Terburu mataku kehilangan pandangan. Remang – remang. semua warna benda memudar, gelap bagai mentari di lahap bumi. Kepalaku berat sekali. Bumi berakhir bagiku. Entah berapa lama, entah karena apa. Katanya kala itu, Qabil panik, berusaha mencari sesuatu yang bisa menyembuhkanku. Digeledahlah tasku olehnya, hanya kotak obat dan kamera kesayanganku yang bersembunyi di sana. Bocah itu menuangkan semua salep dan obat luka dari kotak PPPK, tak bereaksi. Gagal. Qabil menangis pasrah, Menyandarkan kepala di perutku, dan  mengelus - elusku. Memang dia sembrono. Kameraku terjatuh dari dinding sumur hingga ke tanah. Tubrukannya teramat dahsyat. Sampai – sampai semua tombol rusak karena terlalu terpencet. Cahaya kamera kala itu mungkin dengan mudah menusuk kornea kita hingga buta. Ternyata, tanpa sadar, tubuhku terinfeksi jame yang telah terlahir beberapa bulan lalu dan terbawa oleh hydrojeliant hingga bersarang di sakuku. Terbebas aku dari sakit, setelah ore dan  jame teracik. Rupanya ore keluar dari tangan Qabil karena sinar dari kameraku.
Jalan keluar! Kini batinku terang sekali. Hari mulai fajar, dan mentari bersinar menyinari jalanku. Setelah mengantongi kunci teka teki ini, aku dan Qabil mengistirahatkan raga di rumah kosong itu. Aku putuskan tuk pulang ke rumah tinggal kami sebelum keluarga gelisah. Meski awalnya Qabil menolak pintaku untuk pamit pada sanak keluarga, akhirnya kami beralih menuju rumah sebelum ia pulang ke Swarg. Sampai tujuan, Qabil bercerita banyak tentang petualangan kami. Tak terlukiskan rasa yang dirasa ibu, ayah, dan Habil setelah fakta itu terucap dari Qabil. Qabil bukan keluarga kami. Bahkan bukan makhluk sejenis kami, mungkin sulit menerimanya. Entah bisakah serpihan hati mereka terekatkan kembali. Sungai air mata kami mengalir deras, membanjiri wajah kami, sulit sekali mengering. Semua rasa yang terasa tak tergambar oleh sejuta kata, tak terlukis oleh seribu bahasa. Pasti, perpisahan ini tak bisa terhapus dari takdir kami.
Kami buka gerbang kesuksesan menuju puncak pemecahan misteri jelly. Sebelum Qabil beralih ke Swarg, kami berfoto bersama. Raut wajah kami tak kosong akan kesedihan. Luka itu menyayat jiwa. Usai sinar kamera padam, Qabil  mengeluarkan banyak sekali ore. Tak perlulah kami berantas ribuan  jame pemusnah bumi itu. Qabil hanya perlu menghasilkan ore sebagai penyeimbang agar sebelum ore dan jame mengeras. Keduanya bercampur dan berfungsi sebagai obat, sehingga jame tak menjadi racun. Kami tabur gumpalan ore itu di tempat yang mungkin terdapat  jame. Qabil beralih ke Swarg, menunjukkan wujudnya sebagai fotojeliant  asli, jelly kotak putih transparan dengan hydrojeliant atau kotak jelly hitam kecil di dalamnya sebagaimana yang terlihat olehku tiga tahun lalu di belakang pekarangan rumah. Untuk mengobati perih kami, Qabil rutin menjenguk keluarga kami. Namun belakangan kini, ia tak datang. Entah apa yang terjadi dengan fotojeliant beserta hydrojeliant di Swarg hingga kini menjadi misteri. Pasti, semua  jame dan ore telah mengeras menyerupai sepayung benda kenyal kecil, yang sering kami panggil jamur. Berbagai jamur terlahir, berbeda bentuk, warna dan fungsinya. Walau tak ada lagi korban kematian misterius yang mungkin disebabkan oleh  jame. Namun, kini ada yang patut dihindari, itulah jamur beracun, jelmaan dari jame atau jelly beracun. Ore tak berefek jika bekerja sendiri, tapi  jame bisa merusak sistem makhluk hidup jika beraksi tanpa ore. Karena itulah, yang tentu, jamur beracun terbentuk karena ada  jame yang mengeras tanpa sempat bergabung dengan ore. Sebaliknya, ore yang mengeras tanpa bersatu dengan jame, kini membentuk jamur yang biasa kami konsumsi. Sedang,  jame yang mengeras dan bersatu  bersama ore, menjadi jamur yang mampu meluluhkan berbagai penyakit. Jelly Swarg gagal memusnahkan bumi. Justru ia berprofesi sebagai dokter bumi. Dewasa ini, ayah pun beralih haluan menjadi pengusaha jamur terbesar di negara kami, Indonesia. Kini jelly dari Swarg itu  membentengi Indonesia dari serbuan penyakit. Yah, jelly Swarg telah mengubah hidupku jua. Entah akankah aku mengulah lagi di duniaku ini dengan petualangan tanpa ujung dan tak bermaksud lainnya. Namun, tak pernah surut sesalku mengukir duka di batin keluargaku. Semua kehilangan kamu Qabil.... Tolonglah kembali.... Kami rindu.

Hidrotunnisa,
Yogyakarta, Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar